Al-Qur’an, Sains dan Alam Semesta
AI-Qur’an
selalu merujuk kepada (banyak) alam semesta atau ‘alamin, di mana sains
saat ini baru menghasilkan satu hipotesis dan model tentang multiple
universes. Seruan al-Qur’an tentang kebenaran sangat universal –
timeless and spaceless – dialamatkan kepada seluruh manusia dan golongan
jin. Kadang-kadang al-Qur’an menyebutkan makhluk yang ada di (banyak)
bumi dan di (banyak) langit-yang bermakna segenap makhluk yang telah
diketahui maupun yang belum diketahui. Barangkali ia adalah satu-satunya
kitab suci yang seruannya ditujukan kepada manusia dan makhluk alam
gaib (jin). Kritikus al-Qur’an mengatakan, “Mengapa tidak sekalian saja
dialamatkan kepada iblis, atau evil?” Kritikus itu lupa atau tidak
mengetahui bahwa iblis dan setan adalah salah satu ras dari golongan
jin.
AI-Qur’an adalah Kebijakan Abadi
Setiap ayat, bahkan jumlah ayat atau kata, dan nama surat merupakan kebijakan abadi. Ia mempunyai beberapa lapisan pengertian, sesuai dengan tingkat ilmu pengetahuan manusia yang membacanya.
Setiap ayat, bahkan jumlah ayat atau kata, dan nama surat merupakan kebijakan abadi. Ia mempunyai beberapa lapisan pengertian, sesuai dengan tingkat ilmu pengetahuan manusia yang membacanya.
Kita lihat, misalnya, salah satu ayat dari Surat ar-Rahman, yang membahas tentang air;
“Dia membiarkan
kedua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya
ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (Qs Ar-Rahman : 19-20)
Sedikit penafsir yang mengartikan ini adalah tanah genting yang tidak terlihat. Penafsir lainnya menyebutkan bahwa air tawar di sungai dan air asin di lautan bertemu namun tidak saling melampaui karena perbedaan kepekatannya. Sampai di sini terjemahan belum bermasalah. Keterangan lebih lanjut:
Sedikit penafsir yang mengartikan ini adalah tanah genting yang tidak terlihat. Penafsir lainnya menyebutkan bahwa air tawar di sungai dan air asin di lautan bertemu namun tidak saling melampaui karena perbedaan kepekatannya. Sampai di sini terjemahan belum bermasalah. Keterangan lebih lanjut:
Fenomena menarik adalah apa yang diungkapkan oleh seorang ilmuwan Prancis Jacques Yves Cousteau
yang meneliti berbagai lautan di dekat Selat Jibraltar, ditemukan bahwa
pertemuan antara air dari Laut Mediteranian (Laut Tengah) dengan air
dari Lautan Atlantik tidak bercampur, walaupun keduanya air asin.
Salinitas yang berbeda menghasilkan “dam” yang tidak terlihat. Air Laut
Tengah dengan salinitas di atas 36,5% dan temperatur sekitar 11,5
derajat Celsius, terisolasi di kedalaman 900 sampai 1100 meter.
Sedangkan air yang berasal dari Lautan Atlantik mempunyai salinitas di
bawah 35%, membungkus air Laut Tengah dengan temperatur di bawah 10
derajat Celsius.
Melanjutkan Qs Ar Rahman 19-20 diatas tadi, berikutnya adalah fenomena menarik tentang pembentukan mutiara.
“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan” (Qs Ar-Rahman : 22)
Para penerjemah dua puluh tahun yang
lalu, dengan satu atau dua pengecualian, menerjemahkan “marjan” dengan
“batu koral”. Padahal mayoritas ahli tafsir mengartikan dengan marjan,
yang mengandung mutiara kecil yang lebih berkilau. Tetapi ahli tafsir
modern, misalnya Sayyid Quthb, berbicara tentang “batu koral”. Disadari
bahwa banyak ahli tafsir yang menghadapi persoalan dengan ayat ini.
Menurut pengetahuan mereka pada waktu itu, mutiara hanya datang dari air
laut. Padahal ayat ini barangkali menjelaskan bahwa mutiara bisa
terbentuk baik di dalam air laut maupun air tawar. Bagaimana bisa? Abu
Ubaidah, seorang penulis terdahulu, sangat yakin bahwa mutiara hanya
datang dari air laut, sehingga ia mencoba berkelit untuk menafsirkan
ayat tersebut dengan sesuatu yang lain. Maka ia menulis, “Mutiara hanya
datang dari salah satu nya”.
Tetapi kini telah diketahui bahwa mutiara
bisa terbentuk di dalam air tawar. Encyclopedia Britannica, Micropaedia
1977, menulis bahwa di sungai-sungai rimba Bavaria (Eropa) mutiara
dibudidayakan. Bahkan budidaya mutiara air tawar di Cina telah dikenal
sejak sebelum tahun 1000 SM.
Dengan demikian, pernyataan al-Qur’an
dalam surat ini sesuai dengan arti harfiahnya, tanpa memerlukan
penafsiran yang dipaksakan.
Apakah pembaca akan berhenti sampai di sini?
Kita beralih ke ayat al-Qur’an yang pembahasannya memerlukan pengetahuan astrofisika, gabungan astronomi, fisika dan matematika, yaitu Surat an-Nur atau yang berarti cahaya.
“Allah (pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus (misykat), yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu
didalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan pohon yang banyak berkahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan dan tidak
pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walauyun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs An-Nur : 35).
Esensi ayat ini adalah bahwa Tuhan adalah
(satu-satunya) pemberi cahaya di alam semesta tanpa sentuhan api. Namun
menyangkut perumpamaan, mufasir klasik menghadapi kesulitan untuk
menjelaskan lebih rinci.
Dengan beberapa pengecualian mereka akan menjelaskan bahwa misykat
, atau suatu lubang yang tidak dapat ditembus, adalah lubang di
rumah-rumah untuk tempat lampu obor, yang ada di dinding rumah.
Sedangkan pohon (zaitun) yang dimaksud adalah pohon (zaitun) yang tumbuh
di bukit-bukit, sehingga sinar matahari dapat menyinari, baik pada saat
matahari terbit maupun matahari terbenam.
Mufasir modern, seperti Malik Ben Nabi, menjelaskan bahwa misykat adalah lampu bohlam:
Pohon yang dimaksud adalah kawat wolfram
yang berpijar karena efek listrik tanpa disentuh api, dibungkus gelas
kaca, untuk memantulkan seluruh sinarnya ke segala arah sehingga dapat
menerangi seluruh ruangan. Lampu bohlam adalah sekat yang tak dapat
ditembus, karena hampa udara, tidak ada oksigen di sana.
Tetapi, dalam studi yang lebih mendalam tentang cahaya di langit oleh para astrofisikawan, misalnya Mohamed Asadi dalam bukunya The Grand Unifying Theory of Everything,
perumpamaan ayat tersebut lebih mendekati kepada fenomena quasar dan
gravitasi efek lensa yang menghasilkan cahaya di atas cahaya. Quasar
atau Quasi Stellar adalah objek di langit yang ditemukan pertama kalinya
pada tahun 1963. Mereka mewakili objek yang paling terang di alam
semesta, jauh lebih terang dari cahaya matahari atau bintang. Para
astronom menemukan bahwa objek “seperti bintang’ ini terletak miliaran
tahun cahaya dari bumi. Objek ini tentunya mempunyai energi yang
besarnya sangat luar biasa supaya tetap terlihat dari sini. Energi
mereka berasal dari “pusat lubang hitam yang sangat masif”. Karakter
pertama dari ayat ini yaitu misykat adalah “lubang hitam”, sedangkan
karakter kedua yaitu “pelita dalam kaca” adalah galaksi yang
menghasilkan efek gravitasi lensa seperti quasar (pelita) yang
terbungkus oleh kaca (gelas). Coba simak keterangan quasar oleh astronom
NASA.
“Efek gravitasi pada galaksi, quasar yang
jauh, serupa dengan efek lensa sebuah gelas minum yang memantulkan
sinar lampu jalan yang menciptakan berbagai image (lapisan cahaya atas
cahaya)”
Energi quasar yang berasal (dicatu) dari
lubang hitam, terjadi ketika “bintang-bintang dan gas” dari galaksi
terhisap di dalamnya. Karakter lainnya yang disebut “pohon” oleh
al-Qur’an adalah sebutan yang tidak lazim oleh para astronom yang
menggambarkan galaksi sebagai “pohon-pohon” yang terdiri dari
bintang-bintang. Lihat saja istilah diagram Hertzprung�Russel, dalam
buku Timothy Ferris, The Whole Shebang, 1997.
Barangkali, karakter lainnya yang menarik
dari ayat di atas adalah pernyataan “diterangi tanpa tersentuh oleh
api”, suatu fenomena fusi nuklir yang menghasilkan cahaya yang sangat
terang, di mana di ruang angkasa nyaris tidak ada oksigen untuk
pembakaran. Bintang-bintang memulai hidupnya dengan unsur kimia yang
paling ringan, yakni hidrogen. Gas berkontraksi, karena gravitasi,
memanas; atom hidrogen bertumbukan dan membentuk helium, unsur yang
lebih berat, ketika mengeluarkan energinya. Energi inilah yang membuat
objek “bintang- bintang” bersinar tanpa “disentuh api’, energi ini juga
yang memelihara keseimbangan posisi bintang-bintang di alam semesta.
Sepanjang pengetahuan manusia yang ada sekarang, fenomena quasar inilah
yang paling tepat untuk menggambarkan ayat di atas. Terlebih lagi
perumpamaan dalam ayat tersebut: “seakan-akan bintang yang bercahaya
seperti mutiara”. Bahkan aslinya lebih terang dari sinar bintang, dan
memang seperti “mutiara” bila kita lihat dari foto-foto NASA yang ada,
gemerlapan, sangat menawan.
Dengan demikian, terjemahan bebas ayat 35 Surat an-Nur dari sisi sains adalah:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit
dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang (hitam)
yang tak tembus (misykat), yang di dalamnya ada pelita besar (quasar).
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca (efek gravitasi lensa dari galaksi)
itu seakan- akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan pohon (galaksi yang dicatu oleh lubang hitam) yang
banyak berkahnya, (yaitu) pohon (galaksi) yang tumbuh tidak di sebelah
timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya
(fusi nuklir) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (efek gravitasi lensa), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Antisipasi ke Depan atau Catatan Sebelumnya
AI-Qur’an dalam pengajarannya bukan saja
dengan kalimat (teks) tetapi juga dengan hitungan, hitungan yang
membahas berbagai hal. Perbandingan luas lautan dengan daratan, dampak
pemanasan global (global warming), kecepatan cahaya, dan umur alam
semesta: berdasarkan informasi-informasi yang disajikan oleh ayat-ayat
al-Qur’an. Bila al-Qur’an seolah-olah mengantisipasi ke masa depan, itu
adalah semata-mata perspektif manusia. Sebab dalam pandangan al-Qur’an,
semua kejadian di bumi, sesungguhnya telah tercatat dengan baik di dalam
Kitab Utama, Pusat Arsip, atau Lauh Mahfuzh, sebelum kejadian tersebut
berlangsung.
Umur Alam Semesta
Secara ringkas, umur elemen kimia dapat diperkirakan berdasarkan uji radio aktif terhadap atom tersebut. Dan umumnya dapat ditentukan dengan menggunakan uji contoh batu-batuan, yaitu dengan mengukur perubahan elemen berat seperti Rubidium Rb-87. Bila uji Rubidium ini diterapkan atas batuan yang tertua di bumi akan didapatkan bahwa batuan tertua berumur 3,8 miliar tahun. Jika diterapkan atas batuan tertua dari meteor akan didapatkan angka 4,56 miliar tahun. Kesimpulan ini membuktikan bahwa tata surya kita berumur sekitar 4,6 miliar tahun, dengan tingkat kesalahan 100 juta tahun. Sedikit berbeda, bila metode ini digunakan untuk mengukur gas di alam semesta maka akan menyebabkan tingkat variasi yang lebih lebar. Ilmuwan cukup puas mengetahui umur alam semesta sejak Dentuman Besar dengan perhitungan elemen kimia yaitu antara 11-18 miliar tahun.
Secara ringkas, umur elemen kimia dapat diperkirakan berdasarkan uji radio aktif terhadap atom tersebut. Dan umumnya dapat ditentukan dengan menggunakan uji contoh batu-batuan, yaitu dengan mengukur perubahan elemen berat seperti Rubidium Rb-87. Bila uji Rubidium ini diterapkan atas batuan yang tertua di bumi akan didapatkan bahwa batuan tertua berumur 3,8 miliar tahun. Jika diterapkan atas batuan tertua dari meteor akan didapatkan angka 4,56 miliar tahun. Kesimpulan ini membuktikan bahwa tata surya kita berumur sekitar 4,6 miliar tahun, dengan tingkat kesalahan 100 juta tahun. Sedikit berbeda, bila metode ini digunakan untuk mengukur gas di alam semesta maka akan menyebabkan tingkat variasi yang lebih lebar. Ilmuwan cukup puas mengetahui umur alam semesta sejak Dentuman Besar dengan perhitungan elemen kimia yaitu antara 11-18 miliar tahun.
Mohamed Asadi dalam bukunya The Grand
Unifying Theory of Everything mengatakan bahwa umur alam semesta,
berdasarkan penyelidikannya terhadap bintang-bintang tertua, adalah
antara 17 sampai 20 miliar tahun. Sedangkan Profesor Jean Claude
Batelere dari College de France menyatakan bahwa umur alam semesta
kira-kira 18 miliar tahun.5
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang
mengindikasikan perhitungan alam semesta selain makna relativitas waktu,
yaitu Surat as-Sajdah (32:5) dan al-Ma’arij (70:4).
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) keyada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (Qs Al-Ma’arij : 4)
Kita dapat mencatat bahwa al-Qur’an tidak
mengatakan “50.000 tahun” waktu bumi. Karena waktu ini adalah waktu
relatif di suatu tempat di langit, di mana satu hari sama dengan 1000
tahun waktu bumi. Hari relatif tersebut merupakan umur alam semesta di
mana sistem tata surya manusia (kita) berada.
Mari kita konversikan waktu relatif alam semesta:
50.000 x 365,2422 = 18.262.110
Satu hari relatif di “satu tempat” di alam semesta, di tempat malaikat melaporkan urusannya, sama dengan 1000 tahun di bumi:
18.262.110 x 1000 = 18.262.211.000 tahun atau 18,26 miliar tahun.
Dengan demikian, umur alam semesta
relatif adalah 18,26 miliar tahun. Hasilnya hampir sama dengan
perhitungan Profesor Jean Claude Batelere dari College de France
tersebut di atas.
NASA memperkirakan umur alam semesta
antara 12-18 miliar tahun berdasarkan pengukuran seberapa cepat alam
semesta kita ini ekspansi setelah terjadinya “Dentuman Besar”
Dr. Marshall Joy dan Dr. John Carlstrom
dari Universitas Chicago (tim NASA) telah mampu mengatasi masalah
pengukuran kecepatan ekspansi alam semesta dengan teknik terbaru, yaitu
menggunakan radio interferometer untuk menyelidiki dan mengukur
fluktuasi Cosmic Microwave Background Radiation (CMBR). Dengan demikian,
umur alam semesta dapat diperkirakan. Sedangkan tim NASA lainnya
memperkirakan umur alam semesta antara 8-12 miliar tahun berdasarkan
pengukuran jarak galaksi “M100″ dengan teleskop ruang angkasa Hubble.
Galaksi tersebut diperkirakan berjarak 56 juta tahun cahaya dari bumi.
Namun demikian, pengukuran umur alam semesta ini menimbulkan pertanyaan,
bagaimana mungkin alam semesta umurnya lebih muda, padahal salah satu
bintang di Bima Sakti mungkin umurnya jauh lebih tua dari perkiraan
tersebut?
Metonic Cycle
Pembaca telah mendapatkan pengetahuan
bahwa kata-kata dalam al-Qur’an mempunyai makna yang bertingkat.
Beberapa kata mempunyai arti langsung, tetapi yang lain tidak, atau
belum tentu. Misalnya saja, kata yang berarti bulan adalah syahr, dalam
al-Qur’an disebutkan sebanyak 12 kali. Ini sesuai dengan 12 bulan dalam 1
tahun. Sedangkan kata yang berarti hari adalah yaum, yang disebutkan
365 kali dalam al-Qui an. Ini juga sesuai bahwa 1 tahun rata-rata sama
dengan 365 hari. Tetapi kata yang berarti tahun, yaitu sanah disebutkan
dalam al-Qur’an sebanyak 19 kali! Bagaimana kita memahaminya?
Terima kasih kepada cabang pengetahuan
astronomi. Angka 19 atau 19 tahun adalah satu periode di mana posisi
relatif bumi dan bulan kembali ke posisi semula secara berulang setelah
19 tahun kemudian. Siklus ini ditemukan oleh Meton orang Yunani dan
disebut Metonic cycle.
“Jika sekarang tanggal 20 Maret tahun
2000, dan bulan purnama terlihat pada posisi dekat bintang Virgo, kapan
kita dapat melihat bulan purnama pada posisi yang sama?”
“Jawabnya bukan bulan depan atau tahun depan, tetapi tanggal 20 Maret tahun 2019, 19 tahun kemudian.”
Mengapa 19 tahun? Karena fase Tahun
Matahari dan Tahun Bulan akan bertemu tepat pada siklus yang ke-19, di
mana 235 bulan Kalender Bulan tepat sama dengan siklus 19 tahun
berdasarkan Kalender Matahari. (29,53 hari x 235 kira-kira sama dengan
365,24 hari x 19). Meton dari Athena pada tahun 440 SM mengetahui bahwa
235 bulan berdasarkan Kalender Bulan sama dengan 19 tahun Kalender
Matahari. Oleh karena itu, siklus ini dikenal dengan siklus Meton, dan
merupakan basis perhitungan kalender di Yunani sampai Kalender Julius
Caesar diperkenalkan pada tahun 46 SM. Bagi kaum Muslim, menggunakan
Kalender Bulan karena sesuai dengan kebutuhan untuk perhitungan bulan
Ramadhan, bulan Haji, dan peristiwa-peristiwa Islam lainnya. Namun
sebelumnya, Kalender Bulan ini dipergunakan juga oleh kaum Yahudi,
bangsa Babilonia, dan Cina.
Dengan demikian, jumlah penyebutan
kata-kata tertentu dalam al-Qur’an mempunyai,makna yang sangat dalam,
dan baru dapat diketahui oleh pembaca jika ia mempunyai pengetahuan dan
sains yang cukup luas.
“ Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).“ (Qs. Al Baqarah : 269) [islamguide]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar